Sabtu, 26 Oktober 2013

Manfaat Pembelajaran Sains Dalam Bidang Pendidikan






 HAKIKAT DAN PEMBELAJARAN SAINS

Agaknya sulit memilih satu definisi yang paling lengkap (komprehensif) diantara beberapa definisi tentang hakikat sains. Perbedaan definisi ini menjadi wajar karena adanya perbedaan latar belakang keahlian pendefinisiannya (sebagai seoarang pakar pendidikan sains, filsof atau saintis). Namun, dari beberapa pengertian hakikat sains dapat disarikan suatu definsi yang lebih komprehensif yang paling mengaitkan dimensi sains sebagai pengetahuan, proses dan produk, penerapan dan sarana pengembangan nilai dan sikap tertentu seperti berikut ini:


1. Sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, dan menginvestigasi fenomena alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris.

2. Sains sebagai proses atau metode dan produk. Dengan menggunakan metode ilmiah yang sarat keterampilan proses, mengamati, mengajukan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis serta mengevaluassi data, dan menarik kesimpulan terhadap fenomena alam akan diperoleh produk sains, misalnya: fakta, konsep, prinsip dan generalisasi yang kebenarannya bersifat tentatif.

3. Sains dapat dianggap sebagai aplikasi. Dengan penguasaan pengetahuan dan produk sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah dan memanfaatkan, memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan teknologi.

4. Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai tertentu, misalnya: nilai, religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap keterbukaan, nilai praktis dan ekonomis dan nilai etika atau estetika. Implikasi dari pemahaman hakikat sains dalam proses pembelajaran dijelaskan Carin & Sund (1989:16) dengan memberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Para siswa/mahasiswa perlu dilibatkan secara aktif dalam aktivitas yang didasari sains yang merefleksikan metode ilmiah dan keterampilan proses yang mengarah pada diskoveri atau inkuiri terbimbing.

2. Para siswa/mahasiswa perlu didorong melakukan aktivitas yang melibatkan pencarian jawaban bagi masalah dalam masyarakat ilmiah dan teknologi.

3. Para siswa/mahasiswa perlu dilatih ”learning by doing = belajar dengan berbuat sesuatu” dan kemudian merefleksikannya. Mereka harus secara aktif mengkonstruksi konsep, prinsip, dan generalisasi melalui proses ilmiah.

4. Para guru perlu menggunakan berbagai pendekatan/model pembelajaran yang bervariasi dalam pembelajaran sains. Siswa/mahasiswa perlu diarahkan juga pada pemahaman produk dan konten materi ajar melalui aktivitas membaca, menulis dan mengunjungi tempat tertentu.

5. Para siswa perlu dibantu untuk memahami keterbatasan/ketentatifan sains, nilai-nilai, sikap yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sains di masyarakat sehingga mereka dapat membuat keputusan.
BAGAIMANA SISWA BELAJAR SAINS: DASAR TEORITIS
Teori belajar konstruktivisme mempunyai pengaruh besar terhadap upaya pengembangan model-model pembelajaran yang bertujuan membantu siswa memahami konsep-konsep secara benar. Para guru umumnya telah menyadari bahwa sebenarnya mengubah kesalahan konsep siswa tidaklah mudah. Siswa dalam membangun pemahamannya tentang konsep sains membentuk suatu kerangka berpikir yang kompleks. Pembentukan kerangka berpikir tersebut merupakan hasil interaksi siswa dengan pengalaman-pengalaman konkritnya atau dari hasil belajarnya. Kerangka yang mengambarkan hubungan antar konsep ini oleh Piaget disebu schema (Katu, 1992).

Dalam membantu siswa membangun pemahaman yang sesuai dengan konsep ilmiah, para guru memberi dorongan supaya ada usaha dari siswa sendiri untuk merombak kerangka pemikiran yang dimilikinya. Informasi atau pengetahuan baru yang dapat diterima ke dalam struktur kognitif siswa, menurut Piaget (Travers, 1982) melalui dua mekanisme yaitu: asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi, siswa menggunakan konsep yang telah dimiliki sebelumnya untuk beradaptasi dengan informasi baru yang dihadapinya. Jika informasi baru itu berbeda dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, maka terjadi ketakseimbangan (disequilibrium) sehingga diperlukan perubahan atau modifikasi schema untuk mencapai keseimbanagn struktur kognitif. Proses akomodasi merupakan dasar bagi perubahan konseptual, konstruksi pengetahuan dan proses belajar. Perubahan konseptual merupakan proses mengubah konsepsi awal dengan konsepsi baru yang lebih sesuai atau konsisten dengan konsep fisikawan (Fishler, 1993). Ketiga proses (asimilasi, disequilibrium dan akomodasi) ini bersifat adaptif dan berlanggsung kelanjutan dalam pembentukan pengetahuan. Terciptanya keadaan keseimbangan schema merupakan proses konstruktif perolehan pengetahuan dan perubahan konseptual. Melalui proses perubahan konseptual, kegiatan belajar akan menjadi bermakna (Smith, et al. 1993); karena siswa terlibat dalam kegiatan belajar yang dapat membantunya mengkonstruksi sendiri pengetahuan (Dykstra, 1992).

Driver & Bell (1986) menyebutkan beberapa pandangan kelompok konstruktivisme terhadap proses belajar sains sebagai berikut (1) hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa; (2) belajar melibatkan pembentukan makna dengan menghubungkan konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari; (3) proses pembetukan ini aktif dan berkelanjutan; (4) belajar melibatkan penerimaan konsep-konsep yang sedang dipelajari; (6) pengalaman bahasa mempengaruhi pola-pola pemaknaan.

Glasson & Lalik (1993:188) menyatakan bahwa belajar sains sebagai proses konstruktif dan konstruksi pengetahuan itu memerlukan partisipasi aktif antara guru dan siswa. Dinyatakan pula bahwa untuk membangun pengetahuan siswa harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan makna dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki (yang sudah ada) dan kemudian menyesuaikan dengan masalah atau situasi yang dihadapinya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan (gagasan) siswa/mahasiswa, merencanakan kerangka alternatif, meranggsang konflik kognitif dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi pengetahuan.

Konstruktivisme memandang penting peranan konsepsi awal dalam proses belajar sains. Dijelaskan bahwa jika guru tidak mempertimbangkan (mengabaikan) pengetahuan awal dapat memunculkan atau menjadi sumber kesulitan, baik pada guru, siswa atau keduanya (Bendall & Galili, 1993:1169). Walaupun konsepsi awal kadang-kadang tidak jelas dan berbeda dengan pengetahuan ilmiah, namun konsepsi awal ini perlu diidentifikasi sebagai titik awal dalam perubahan konseptual. Melalui perubahan konseptual dalam belajar sains, siswa dapat terlibat aktif dalam membentuk pengetahuan sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi awal mereka. Konsepsi awal yang termodifikasi melalui proses akomodasi dapat membantu siswa menetralisir kegelisahan atau konflik yang timbul ketika berintegrasi dengan lingkungan dan mengembangkan kerangka konseptual yang dapat mengurangi kegiatan yang hanya menekankan menghafal ( rote memorization).

Dengan demikian, proses perubahan konseptual dalam belajar sains dapat menunjang belajar bermakna, karena konsep tersebut diawali dengan mengidentifikasi konsepsi awal siswa. Guru perlu menerapkan strategi-strategi mengajar yang cocok agar perubahan konseptual siswa dapat terjadi, misalnya strategi mengajar perubahan konseptual yang dida
sari konstruktivisme (Tomo, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar